Orang asing dilarang masuk ke Baduy dalam…! Suara ini samar aku dengar dari dialog salah satu anggota rombongan dengan pengantar kami, or...
Orang asing dilarang masuk ke Baduy dalam…! Suara ini samar aku dengar dari dialog salah satu anggota rombongan dengan pengantar kami, orang Baduy asli, penasaran aku mendekat, “kan kita mau ke dalam ?”, tanyaku dengan tekanan suara yang jelas, maksudnya supaya orang baduy asli itu denger, dan benar dia menjawab, “orang asing itu maksudnya “bule”, dan “chinese”. Pertama reaksiku biasa saja terhadap jawaban pertama, tapi Chinese, kenapa dianggap asing juga ?, sudahlah aku tidak berani bertanya lebih jauh, kami terus melanjutkan perjalanan menelusuri jalan batu meninggalkan Ciboleger, terminal terakhir tempat kendaraan kami berhenti.
Dengan jumlah rombongan hampir 40 orang, memang perjalanan ini terasa riuh dan rame oleh ocehan-ocehan peserta, ada beberapa rekan Baduy dalam bersama kami, sebagai penunjuk jalan dan sekaligus porter, aku sendiri ada di rombongan paling belakang bersama orang Baduy dalam asli yang akhirnya aku kenal sebagai Herman, ia sengaja paling belakang, bertanggung jawab sebagai sweeper, menjaga tamu yang akan memasuki kawasannya, ia dan Masyarakat Baduy dalam menganggap kami sebagai tamu, dan kami akan diterima sebagai tamu, bukan pengunjung biasa, atau turis atau orang yang nyasar. Begitu meninggalkan Ciboleger, kami mendapati papan peringatan yang sudah agak usang, tapi bunyinya masih menggetarkan “denda 5 juta bagi yang mengganggu, merusak, atau menggunakan tanah hak ulayat Baduy”. Wow, luar biasa…
Baduy, sudah lama aku kenal, namun hanya sedikit pengetahuanku, dan aku belum pernah mengunjunginya, nah kesempatan kali ini benar-benar ingin aku manfaatkan untuk melihat dengan mata kepala sendiri fenomena “Baduy” dengan segala legendanya, adat istiadatnya, wisdom-nya, reputasinya, sehingga pemerintah sampai merasa perlu melindungi suku Baduy ini.
Herman bilang jarak yang kami tempuh sekitar 12 km, dg lama tempuh kalau santai kira kira 4-5 jam. Dalam hati aku bilang enteng, tiap minggu aku jogging 5 km, jadi 12 km ditempuh dengan jalan kaki no problem lah batinku. Kami terus berjalan menelusuri jalanan yang terkadang hanya berupa jalan setapak dari tanah, tetapi kadang-kadang dilapisi susunan batu kali yang rapi, jika ada jalanan menanjak atau turunan, batu kali itupun disusun rapi membentuk undakan sehingga memudahkan siapa saja yang melintasinya, biasanya jalan batu ini adanya di tengah pemukiman Baduy, diantara rumah-rumah Baduy yang masih terbuat dari kayu, berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia.
Kami masih berada di Baduy luar, Rumah Baduy luar berbentuk panggung setinggi sekitar setengah meter dari permukaan tanah, pilar pilarnya dari kayu, berdinding anyaman bambu, dan berlantai bambu yang disusun seolah olah sayatan bambu yang memanjang, rumah rumah sederhana ini berderet deret atau kadang kadang seperti bertumpuk tumpuk jika dilihat dari jauh, karena kontur tanah yang tidak rata, menyaksikan dan merasakan pemukiman Baduy luar saja kami sudah terkagum-kagum bagaimana kiranya di Baduy dalam sana…
Baru satu jam lebih sedikit perjalanan ini, tapi aku sudah basah kuyup, dugaanku salah, tadinya aku pikir jalannya datar, tapi ternyata naik turun melewati beberapa punggungan gunung, handuk kecil yang aku bawa sampai bisa diperas berkali kali, dan beberapa teman bercanda “jangan diperas Om, sayang buat survival”… he..he. ada ada saja…
Di saat seperti ini, barulah kita bisa benar benar merasakan nikmatnya seteguk air putih… tidak ada yang lebih berharga dibanding air… terimakasih Tuhan atas nikmat ini…
Terus menyusuri jalan setapak, naik turun gunung, menyusuri hutan, menyeberangi sungai, dan sesekali kami melihat dikejauhan sekumpulan rumah pemukiman Baduy yang tersusun indah menyembul diantara pohon-pohon hutan, orang-orang Baduy sangat bersahaja, mereka benar-benar sahabat alam, mengambil segala sesuatu dari alam sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka tidak mencemari lingkungan, mereka sudah menjadi satu kesatuan ekosistem alam Baduy.
Pemandangan indah alam Baduy tak henti hentinya terpampang didepan kami, ketika kami mencapai punggungan gunung, hutan hijau nan padat dan rimbun, tanpa dikotori menara-menara listrik atau kabel-kabel sutet, seolah sengaja memamerkan keanggunannya kepada kami, terkadang lembah-lembah yang indah dihiasi aliran sungai berbatu yang cukup lebar dengan air yang jernih, inilah air sumber kehidupan orang orang Baduy.
Kami terus berjalan dan sesekali istirahat, rombongan mulai tercecer, yang terdepan beristirahat menunggu kawan yang masih jauh dibelakang berkumpul kembali, untuk kemudian bersama sama lagi melanjutkan perjalanan, satu hal yang mengagumkan, pengantar kami Orang Baduy dalam, sama sekali tidak terlihat lelah, bahkan aku tidak melihat keringat sedikitpun, padahal keringatku sampai bisa diperas…., kami ngos ngosan, mereka tidak, orang Baduy Dalam memang dilahirkan untuk berjalan, sudah menjadi adat mereka bahwa kemanapun pergi hanya dengan cara berjalan kaki, dan tanpa alas kaki, Herman bercerita, ia ingin suatu ketika mengunjungi Bandung, caranya ?, ya berjalanan kaki….
Mereka tidak akan melanggar aturan ini, bagi yang melanggar bisa kena sangsi dikeluarkan dari Baduy Dalam oleh sang Pu’un atau kepala suku / kepala adat. Ujar Herman lagi, kalau ke Jakarta sih biasa, tak bedanya seperti ke ladang, kembali kekagumanku tak bisa disembunyikan, aku menepuk nepuk bahu Herman yang meskipun berpostur kecil tapi tangguh… “rata rata dua hari kami menempuh perjalanan ke Jakarta”, lanjutnya. Sekali lagi… Luar Biasa…
Alhamdulillah hari ini langit cerah dan tak ada hujan, sehingga kami lebih bisa menikmati perjalanan dan semua pemandangan yang ada sejauh ini, seolah alam sengaja menyediakan dirinya untuk kami, terimakasih Allah atas keindahan ini…
Sebuah jembatan terbuat dari bambu ada di depan kami, diatas sungai yang cukup lebar dan jauh dibawah, konstruksi jembatan ini seratus persen dari bambu, tanpa paku atau kawat, disambung hanya dengan menggunakan tali yang terbuat dari sabut hitam untuk mengikat, kami melintasinya, dan terasa bergoyang, ngeri -ngeri sedap melintasinya, apalagi kalau melihat kebawah…he..he.
Diujung jembatan kami melihat sederetan rumah panggung berukuran kecil, sekitar 2 kali 1,5 meter, setinggi 2 meter, beratap rumbia, tanpa pintu, dan ternyata ini adalah lumbung milik Baduy Luar, untuk menyimpan hasil bumi.
Lanjutan Perjalanan menuju Desa Baduy Dalam..
COMMENTS